80/20

Saya dan suami punya OST. Bukan Original Soundtrack atau Open Stage Technology ya. Semata-mata ini adalah singkatan dari Obrolan Sebelum Tidur. Obrolannya beragam. Mulai dari membahas internal issues, film yang (akan) seru, kehebohan apa di sosial media, how was our day dan tentunya apa yang terjadi di sekitar kita. Ujung-ujungnya sering membahas masalah orang lain yang lalu direfleksikan ke kehidupan kami.

Kemarin malam obrolannya mengenai selingkuh. Saya beranggapan, akan mudah apabila jelas alasan selingkuh semata-mata karena ketertarikan fisik semata, tidak pakai perasaan. Bukan berarti mudah ditoleransi juga sih, tapi biasanya (biasanya loooh…) selingkuh karena ketertarikan fisik tidak akan berlangsung lama dan tidak menimbulkan efek yang dalam, walaupun kegiatan yang dilakukan biasanya menusuk sampai dalam (iya toooh?). Tapi kalau sudah pakai hati, hmm… Masa selingkuhnya bisa jadi tidak lama karena mungkin keburu harus sadar. Tapi perasaan yang tertinggal itu yang entah sampai kapan hilangnya.

Lalu saya teringat dengan sebuah film yang dulu direkomendasikan oleh Acit, “Why Did I Get Married?” yang di dalamnya terdapat Janet Jackson ikutan main film (info penting). Cukup menarik karena terdapat teori 80/20 dalam relationship.

Singkatnya, kalau mau jujur dalam hidup (mari kita fokuskan saja ke hubungan berpasangan), kita tidak mungkin mendapat 100% yang diinginkan dari pasangan. Coba cek, buatlah daftar. Jujurlah pada diri sendiri. Kalau kamu bisa mendapatkan 100% dari apa yang diinginkan dari pasangan, ijinkan saya menghampirimu dan mengucapkan selamat sambil menari tarian “saya iri”.
Rata-rata dari survey yang dilakukan kepada pasangan dengan hubungan sehat adalah mentok di 80%. Tidak pernah ada yang (ketika jujur pada diri sendiri) mengklaim bisa mendapatkan 100% yang diinginkan dari pasangan. Ingat ya, kata kuncinya adalah: JUJUR PADA DIRI SENDIRI.

Nah ini dia yang menjadi asal muasal teori 80/20. Adalah beruntung apabila kita bisa mendapatkan 80%. Sisa 20% seharusnya kita relakan saja. Tapi yang terjadi, seringnya kita hanya fokus dan terobsesi dengan apa yang tidak kita dapatkan – daripada sadar bahwa yang kita miliki ini jauh lebih banyak.

Salah satu alasan selingkuh yang paling sering, ya faktor 20% ini.

Contoh paling sering deh yang terjadi di kaum saya, perempuan. Suka tidak tahan kalau diberikan perhatian lebih yang cukup gombal dan bikin penasaran oleh orang selain pasangan. Mungkin memang pasangan kita tidak terlalu romantis dengan gombal-gombal yang bikin #GMZ dari sananya. Atau bisa jadi karena sudah cukup lama bersama (ketemu setiap hari, tidur bareng, bangun bersama), perhatian yang (sebenarnya) selalu diberikan jadi tidak terlalu terasa karena sudah sangat terbiasa.
Lalu datanglah bentuk perhatian lain, masih baru, yang tentunya terasa lebih istimewa. Wajar kan segala sesuatu yang baru memang menimbulkan sensasi yang lebih dibanding hal yang sudah lama.
Lalu kita runtuh pertahanannya, berpaling, lebih memilih untuk beralih kepada hal yang kalau dihitung prosentasenya paling banter hanya 20%. Melupakan 80% yang selama ini sudah dimiliki. Cuma gara-gara terlalu silau dengan bling-bling segumpal bentuk perhatian baru dan melupakan segudang penuh hal yang saat itu terlihat kusam karena sudah lama dibiarkan begitu saja.

Will you give up the 80% and go for the 20%? Or deep down inside you hope that this 20% will also come in one package with the rest of 80%. Or or or… it’s usually like this. We do believe that this 20% is the most important thing we need so the 80% doesn’t really matter anymore because our life will be complete and content as long as we get the 20%.

Loh kok jadi tiba-tiba nginggris?

Akhirnya kembali ke kita juga sih. Bukannya sombong nih yaaa, jaman pacaran saya beberapa kali bandel, selingkuh. Dipikir-pikir ya karena itu, si 20%. Bahkan sering kali sebelumnya saya tidak sadar loh ada kekurangan si 20% itu, sampai tiba-tiba muncul sesuatu dan mengklaim dirinya sebagai “the missing 20% that you’ve been waiting for, go grab it now or you will lose your once in a lifetime chance”. Lalu ternyata, ya begitu saja. Tapi saya bersyukur dengan si 20% yang kerap datang. Karena saya yakin pada saat itu yang sedang saya jalani juga tidak 80%-80% amat. Buktinya gampang teralih dengan si 20%.

Tapi di dunia perkawinan, di mana komitmen yang dibuat sudah jelas bukan di level biasa-biasa saja karena mengatasnamakan Yang Maha Kuasa dalam perjanjian tersebut. Menurut kami yang percaya Tuhan dan kehidupan setelah mati, komitmen macam ini bukan hanya penting di dunia – tapi akan berpengaruh juga ke akherat mana kita akan berlabuh (weiiits, beraaat!). Maka itu sebaik-baiknya dengan segala cara yang saya bisa, menjaga apa yang sudah jadi pilihan saya. Bukan hanya itu loh, bisa dibilang ini adalah pilihan kita yang direstui oleh kekuatan maha dahsyat di seluruh jagat raya. Karena kalau tidak direstui, pasti tidak akan kejadian. Mau itu entah berapa prosentase-nya atau berapa ponten yang kita berikan kepadanya.

Dua hal yang akan selalu saya ingat.
Pertama, bahwa pasangan dan saya sama-sama memiliki keterbatasan, kami berdua bukan manusia sempurna namun berusaha berbuat yang paling baik.
Kedua, adalah yang paling penting, pasangan saya adalah bentuk wujud nyata dari doa yang selama ini saya panjatkan.

Mau minta yang lebih gimana lagi, coba?

Leave a comment